Adalah semboyan yang terkenal yang diucapkan oleh Presiden Soekarno, dalam pidatonya yang terakhir pada Hari Ulang Tahun (HUT) Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1966. Disingkat menjadi Jasmerah oleh Kesatuan Aksi Angkatan '66.
Kata "sejarah" berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah :
- n asal-usul (keturunan) silsilah
- n kejadian dan peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampau; riwayat; tambo:cerita --
- n pengetahuan atau uraian tentang peristiwa dan kejadian yang benar-benar terjadi dalam masa lampau; ilmu sejarah
Yang pengertiannya adalah : suatu peristiwa atau kejadian yang pernah terjadi di masa lalu dan dapat diketahui melalui peninggalan-peninggalan di masa itu.
Pembahasan tentang sejarah ini semakin seru ketika Asep Kambali yang menjadi narasumber dalam seminar nasional bertajuk "Merawat Cagar Budaya Kita : Pentingnya Memelihara, Merawat dan Mempertahankan Situs Sejarah dan Kebudayaan Kota Makassar di Era Milenial" yang diadakan oleh Balai Cagar Budaya Sulawesi Selatan dan Lembaga Lingkar pada hari Sabtu tanggal 13 April 2019 lalu.
Asep Kambali atau yang akrab disapa Kang Asep adalah seorang Sejarahwan dan founder Komunitas Historia Indonesia. Beliau membawakan materi Manajemen Pengelolaan Cagar Budaya. Cagar budaya erat kaitannya dengan sejarah, karena sejarah adalah identitas suatu bangsa. "Untuk menghancurkan suatu bangsa, musnahkanlah ingatan sejarah generasi mudanya", demikian salah satu quote beliau. Hingga sampai pada kesimpulan ini :
Sayangnya di Indonesia banyak yang menganggap sejarah adalah sesuatu yang membosankan, tidak menarik untuk dipelajari, bahkan lulusan Sejarah banyak yang tidak mendapat tempat di berbagai instansi atau perusahaan di Indonesia. Miris banget ya? Padahal sejarah itu penting karena merupakan jati diri.
Baca juga : Di Mana Saja Wisata Sejarah dan Edukasi di Makassar?
Selain Kang Asep, seminar nasional ini juga menghadirkan Bapak Drs. Laode Muhammad Aksa, M.Hum. (Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan), Bapak Dias Pradadimara, MA. (Sejarahwan Universitas Hasanuddin) dan Bapak Yerry Wirawan (Penulis Buku Masyrakat Tionghoa Makassar dan Dosen Universitas Sanatadarma).
Bapak Drs. Laode Muhammad Aksa , M.Hum. (Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan) membawakan materi berjudul Antara Pelestarian dan Perlindungan "Cerita Baru dan Lama", yang memaparkan melemahnya aset warisan budaya perkotaan, dimana permasalah pelestarian timbul akibat perbedaan kepentingan untuk melestarikan bangunan kuno dan bersejarah dengan tuntutan kebutuhan jaman akan bangunan modern.
Di Makassar sendiri sudah banyak bangunan bersejarah yang dihilangkan, hingga tersisa sangat sedikit dan tidak semua dijadikan cagar budaya, karena untuk menjadikan sebuah bangunan sebagai cagar budaya harus ada kesepakatan antara pemerintah dengan masyarakat. Yang diketahui oleh masyarakat adalah Benteng Somba Opu, Benteng Rotterdam, Museum Kota Makassar, Gereja Katedral dan beberapa bangunan tua lainnya.
Lantas, bagaimana dengan Kota Makassar itu sendiri? Bagaimana bisa terbentuk? Menurut Bapak Dias Pradadimara, MA. (Sejarahwan Universitas Hasanuddin) dalam presentasinya berjudul Membentuk Kota Makassar : Perkembangan Kota, Heritage dan Cagar Budaya, Makassar tidak disebutkan secara spesifik dalam catatan sejarah sebagai sebuah kota. Sebuah catatan yang menyebutkan kata "Makassar" ditulis oleh Alfred Wallace (seorang Naturalis) pada abad ke-19, tepatnya pada 1856, saat kedatangannya ke Makassar. Catatan tersebut tertulis seperti berikut :
Perkembangan Kota Makassar tidak bisa lepas dari keberadaan masyarakat Tionghoa di dalamnya. Tapi tidak ada catatan sejarah yang mencatat kapan pertama kali mereka datang. Tentang Kota Makassar dan Sejarah Masyarakat Tionghoa, dibawakan oleh Bapak Yerry Wirawan (Penulis Buku Masyrakat Tionghoa Makassar dan Dosen Universitas Sanatadarma).
Pertama kali catatan yang ditemukan tertulis tahun 1667, yaitu Sj'air Perang Mengkasar karya Entji' Amin :
Selain itu, jejak berupa bangunan-bangunan tua peninggalan Cina sangatlah banyak di daerah sebelah barat Kota Makassar sekarang dan sudah dijadikan sebagai Kawasan Pecinan atau Chinatown. Sebut saja di antaranya adalah Klenteng Maco Po atau Vihara Ibu Agung Bahari, Rumah Abu Keluarga Nio, Yayasan Marga Thoeng hingga Pasar Bacang.
Baca juga : Berlibur di China
Sebagai rangkaian dari seminar nasional Merawat Cagar Budaya ini, pada hari Minggu tanggal 14 April 2019, kami seluruh peserta diajak mengelilingi Kawasan Pecinan untuk melihat bangunan cagar budaya dan beberapa peninggalan dari masa lalu, sepertiyang saya tulis di atas. Sebuah pengalaman yang seru banget nih!
Kalo kamu pengen lihat keseruannya, bisa nonton di channel Youtube saya ini :
Salut buat Lembaga Lingkar dan Balai Peninggalan Cagar Budaya Sulawesi Selatan yang telah menyelenggarakan acara ini. Semoga aja cagar budaya yang masih ada sekarang, bisa terus dipertahankan dan dirawat, biar anak cucu kita bisa tetap menikmati peninggalan masa lalu dan belajar sejarah dari cagar budaya tersebut.
No History, No Future!
Sayangnya di Indonesia banyak yang menganggap sejarah adalah sesuatu yang membosankan, tidak menarik untuk dipelajari, bahkan lulusan Sejarah banyak yang tidak mendapat tempat di berbagai instansi atau perusahaan di Indonesia. Miris banget ya? Padahal sejarah itu penting karena merupakan jati diri.
![]() |
Kami, para blogger, bersama Kang Asep Kambali *dokumentasi pribadi |
Baca juga : Di Mana Saja Wisata Sejarah dan Edukasi di Makassar?
Selain Kang Asep, seminar nasional ini juga menghadirkan Bapak Drs. Laode Muhammad Aksa, M.Hum. (Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan), Bapak Dias Pradadimara, MA. (Sejarahwan Universitas Hasanuddin) dan Bapak Yerry Wirawan (Penulis Buku Masyrakat Tionghoa Makassar dan Dosen Universitas Sanatadarma).
Bapak Drs. Laode Muhammad Aksa , M.Hum. (Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan) membawakan materi berjudul Antara Pelestarian dan Perlindungan "Cerita Baru dan Lama", yang memaparkan melemahnya aset warisan budaya perkotaan, dimana permasalah pelestarian timbul akibat perbedaan kepentingan untuk melestarikan bangunan kuno dan bersejarah dengan tuntutan kebutuhan jaman akan bangunan modern.
![]() |
Kantor BPCB Makassar di Fort Rotterdam *dokumentasi pribadi |
Di Makassar sendiri sudah banyak bangunan bersejarah yang dihilangkan, hingga tersisa sangat sedikit dan tidak semua dijadikan cagar budaya, karena untuk menjadikan sebuah bangunan sebagai cagar budaya harus ada kesepakatan antara pemerintah dengan masyarakat. Yang diketahui oleh masyarakat adalah Benteng Somba Opu, Benteng Rotterdam, Museum Kota Makassar, Gereja Katedral dan beberapa bangunan tua lainnya.
Kota Makassar dan Kawasan Pecinan
Lantas, bagaimana dengan Kota Makassar itu sendiri? Bagaimana bisa terbentuk? Menurut Bapak Dias Pradadimara, MA. (Sejarahwan Universitas Hasanuddin) dalam presentasinya berjudul Membentuk Kota Makassar : Perkembangan Kota, Heritage dan Cagar Budaya, Makassar tidak disebutkan secara spesifik dalam catatan sejarah sebagai sebuah kota. Sebuah catatan yang menyebutkan kata "Makassar" ditulis oleh Alfred Wallace (seorang Naturalis) pada abad ke-19, tepatnya pada 1856, saat kedatangannya ke Makassar. Catatan tersebut tertulis seperti berikut :
Macassar was the first Dutch town I had visited and I found it prettier and cleaner than any I had yet seen in the East. ...
Perkembangan Kota Makassar tidak bisa lepas dari keberadaan masyarakat Tionghoa di dalamnya. Tapi tidak ada catatan sejarah yang mencatat kapan pertama kali mereka datang. Tentang Kota Makassar dan Sejarah Masyarakat Tionghoa, dibawakan oleh Bapak Yerry Wirawan (Penulis Buku Masyrakat Tionghoa Makassar dan Dosen Universitas Sanatadarma).
Pertama kali catatan yang ditemukan tertulis tahun 1667, yaitu Sj'air Perang Mengkasar karya Entji' Amin :
Di kampung Tjina meriam jang tebal
serta ditémbakkan kenalah kapal
terus-menerus tampal-menampal
sangatlah duka hati Admiral
Selain itu, jejak berupa bangunan-bangunan tua peninggalan Cina sangatlah banyak di daerah sebelah barat Kota Makassar sekarang dan sudah dijadikan sebagai Kawasan Pecinan atau Chinatown. Sebut saja di antaranya adalah Klenteng Maco Po atau Vihara Ibu Agung Bahari, Rumah Abu Keluarga Nio, Yayasan Marga Thoeng hingga Pasar Bacang.
![]() |
Yayasan Marga Thoeng *dokumentasi pribadi |
![]() |
Pasar Bacang *dokumentasi pribadi |
Baca juga : Berlibur di China
Sebagai rangkaian dari seminar nasional Merawat Cagar Budaya ini, pada hari Minggu tanggal 14 April 2019, kami seluruh peserta diajak mengelilingi Kawasan Pecinan untuk melihat bangunan cagar budaya dan beberapa peninggalan dari masa lalu, sepertiyang saya tulis di atas. Sebuah pengalaman yang seru banget nih!
Kalo kamu pengen lihat keseruannya, bisa nonton di channel Youtube saya ini :
Salut buat Lembaga Lingkar dan Balai Peninggalan Cagar Budaya Sulawesi Selatan yang telah menyelenggarakan acara ini. Semoga aja cagar budaya yang masih ada sekarang, bisa terus dipertahankan dan dirawat, biar anak cucu kita bisa tetap menikmati peninggalan masa lalu dan belajar sejarah dari cagar budaya tersebut.
Lembaga Lingkar ini keren. Saya mengikuti beberapa acaranya. Lembaga Lingkar berkolaborasi dengan pemerintah dalam hal membumikan sejarah supaya bisa lebih dikenal. Terakhir, saya ikut acara tanggal 24 kemarin di Museum Kota.
BalasHapusKalo ada lagi acaranya Lingkar, ajak-ajak ya kak...
Hapusnamanya sejarah memang harus kira pelihara baik-baik ya kak. benar kata pak sukarno, jangan sekali2 melupakan sejarah. karena kita bisa seperti sekarang tidak lepas dari apa yang terjadi di masa lampau.
BalasHapusBener banget, sejarah itu ibarat mantan. Walau udah lewat tapi pernah mengisi hati #ehapasih ��
Hapuskalau ingat jaman sekolah dulu tiap pelajaran sejarah bawaanny selalu mengantuk, kira2 menurutta kak apa yang harus atw cara kayak bgm yg harus dilakukan guru2 disekolah biar pelajaran sejarah jd lbh asik dan tidak bikin ngantuk?
BalasHapusGuru2 sekolah itu kalo ngajar mestinya semenarik dan seinteraktif mungkin, biar murid gak bosan.
HapusDan kalo pelajaran sejarah, bagus banget kalo diisi dengan kegiatan outing, melihat langsung oenginggalan sejarah, biar ilmunya lebih masuk ke otak para murid.
pelajaran yg aku suka saman sekolah itu sejarah. kayaknya seru aja belajar seperti apa kebudayaan dan cara berpikir, cara hidup orang2 zaman dahulu. selain dr sekolah, aku suka mempelajari budaya dari musejm juga, ato bangunan2 cagar budaya. tp jujurnya museum sejarah dan bangunan2 cagar budaya di Indonesia banyak yg ga trlalu dipelihara, museum2nya jg kurang informatif. ga heran kalo museum di indonesia kebanyakan sepi peminta :(. padahl kalo di negara2 lain, cthnya aja jepang, museum di sana sangat serius dan detil sekali. pengunjungnya juga selalu rame.
BalasHapus. di malaysia, bangunan cagar budayany juga sangat terawat. seandainya indonesia bisa seperti itu, lbh memperhatikan lg bangunan2 bersejarahnya, membuat museum sejarahnya jg lbh menarik, pastj bakal banyak anak2 muda yg seneng mempelajari sejarah
Sayang banget ya, museum di Indonesia malah jadi bangunan tua yang emang berbau apek, menyeramkan dan membosankan.
HapusMestinya pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan banyak belajar dari museum-museum di luar negeri, biar masyarakat jadi senang berkunjung.
Idem dengan mba Fanny, Aku paling suka pelajaran sejarah sejak di SD ketimbang belajar matematika, hahaha.
BalasHapusBiasanya guru akan meminta kami mebaca buku dan sesekali menerangkannya di depan kelas. Ga pakai effort gitu belajarnya. Itulah kenapa ^^
Duh, aku jujur banget yak
... dan sampai sekarang pun aku masih suka tentang semua yang mengandung sejarah. Banyak nilai-nilai yang bisa kita ambil dari sana.
Misalnya seperti dari artikel ini, aku jadi tahu bahwa perkembangan Makassar tidak dapat dipisahkan dari masyarakat Tionghoa.
Sayang memang ya, tak ada yang mencatat, tahun berapa persisnya mereka menginjakkan kaki di Makassar.
Samma donk kak, hehe...
HapusKalo pelajaran sejarah, yang penting kuat menghapal aja.
Tentang orang Tionghoa yang Makassar, mereka akhirnya membawa menu kuliner yang beberapa jadi khas di Makassar juga, salah satunya adalah mie kering.
Setuju Kak.... Semoga sejarah dan cagar budaya tetap lestari ya.... Supaya anak cucu kita memahami asal usulnya :)
BalasHapusJangan sampai anak cucu kita udah gak tau lagi tentang sejarah bangsa yaa...
HapusPenting banget ya melestarikan cagar budaya supaya generasi-generasi selanjutnya tau & gak lupa sama asal usulnya.
BalasHapusTermasuk generasi kita juga, beb.
HapusKalau di kota Solo banyak cagar budaya yang saat ini di pugar. Beberapa diantaranya beralih fungsi jadi mall dan hotel
BalasHapusTapi bangunan lama tetap dipertahankan kan mbak?
HapusIya..
BalasHapusAku juga pernah baca, jika ingin merusak generasi muda suatu bangsa, buat saja mereka melupakan sejarah.
Betapa pentingnya sejarah bagi sebuah bangsa.
Ngeri banget ya kalo sampe kejadian anak-anak muda kita gak tau sejarah bangsa...
HapusMereka bakal kehilangan identitas akar budayanya.
Penting banget ya kak kita bisa mengenal cagar budaya ini supaya bisa tau wisata di daerah kita sendiri
BalasHapusBener banget, cagar budaya itu bisa jadi destinasi wisata juga.
HapusAku bahagia kalau liat cagar budaya gini mba. Mendengar cerita dibalik gedung2 itu rasanya seru. Menyadari kalau dulu pernah ada hal penting yang terjadi di tmpt itu.
BalasHapusSamma... Jadinya kagum-kagum sendiri kalo tau cerita sejarah dari sebuah tempat.
HapusAku kalau pelajaran sejarah pas jaman sekolah paling gak seneng soalnya bukunya tebel-tebel dan semuanya harus dihapal :(
BalasHapusTapi kalau berkunjung langsung dan denger ceritanya dari tour guidenya gitu, malah suka terwow-wow sendiri :)
Lebih asyik outschooling emang yaa, dibanding belajar di kelas. Hihihi..
HapusSayang sekali ndk bisaka hadir di hari kedua. Padahal mauta'mi jalan jalan di area pecinan, melihat lihat bangunan tua peninggalan sejarah. Kepikiran mau bawa siswa kesana jalan jalan juga.
BalasHapusBagus tuh idenya kak dan kayaknya cocok kalo kerjasama ki dengan Lembaga Lingkar, biar ada guide yang bisa jelasin bangunan2 cagar budaya yang kita lihat.
Hapus